Meniti Jalan Pengabdian, Mendalami Pemikiran dan Kepemimpinan Gusnar Ismail
Judul: Meniti Jalan Pengabdian: Mendalami Pemikiran dan Kepemimpinan Gusnar Ismail
|
|
Setiap daerah selalu memiliki sosok yang dengan caranya sendiri menjadi cermin zamannya. Bagi Gorontalo, salah satu cermin itu bernama Gusnar Ismail. Bukan karena beliau tanpa cacat, namun justru karena perjalanan hidup dan kepemimpinannya menyimpan banyak pelajaran tentang arti pengabdian, kekuasaan, dan kesetiaan pada nilai. Dari situlah buku “Meniti Jalan Pengabdian: Mendalami Pemikiran dan Kepemimpinan Gusnar Ismail” ini berangkat.Buku ini lahir dari kegelisahan sekaligus harapan. Kegelisahan, karena di tengah hiruk pikuk politik pemilu dan banjir pencitraan, kita sering lupa bahwa pemimpin sejatinya adalah manusia yang ditempa oleh proses panjang, keluarga, pendidikan, organisasi, lingkungan, dan zaman. Harapan, karena kami percaya bahwa dengan membaca jejak seorang pemimpin secara lebih jujur dan mendalam, generasi baru bisa belajar memilah antara kultus individu dan teladan nilai. Dalam menyusun buku ini, kami tidak bermaksud menempatkan Gusnar Ismail di atas panggung puja-puji yang steril dari kritik. Sejak awal, kami sepakat bahwa buku ini bukan hagiografi, bukan kisah pemutihan tanpa cela. Buku ini adalah upaya merekam jejak, menata ulang ingatan, dan menyajikannya secara lebih terstruktur: bagaimana seorang anak kampung di tepi Danau Limboto tumbuh, belajar, berorganisasi, memasuki batasan, lalu menanggung konsekuensi dari setiap pilihan kepemimpinannya. Di antara baris-baris narasi, pembaca akan menemukan keberhasilan, juga keterbatasan; pengakuan, juga perenungan. Metode yang kami gunakan menggabungkan pendekatan biografi dengan sentuhan reflektif. Kami bertumpu pada wawancara, dokumen, arsip, dan bukti berbagai pihak yang pernah berinteraksi dengan Gusnar Ismail, baik dalam kapasitas formal maupun informal. Dari sana, kami mencoba menangkap bukan hanya “apa yang dilakukan”, tetapi juga “apa yang memikirkan” dan “apa yang diyakini” di balik setiap keputusan. Sebab kepemimpinan, pada akhirnya, bukan hanya soal jabatan yang pernah diemban, tetapi juga tentang cara memaknai amanah itu dalam kesunyian batin. Di banyak bagian, pembaca akan menemukan kuatnya pijakan nilai-nilai lokal dan religius: falsafah “Adati hula-hulaa pada syaraa, syaraa hula-hulaa pada Al-Qur'ani”, semangat huyula (gotong royong), serta pandangan bahwa jabatan adalah amanah, bukan sekadar hak. Nilai-nilai ini bukan kami hadirkan sebagai ornamen retoris, melainkan sebagai benang merah yang menjahit berbagai babak kehidupan Gusnar Ismail, mulai dari masa kecil, aktivisme pelajar, karir teknokrat, hingga pengalaman menjadi Gubernur Gorontalo.
Kami menyadari betul bahwa setiap upaya menulis tentang tokoh yang masih hidup selalu mengandung risiko: terlalu lembut hingga kehilangan daya kritis, atau terlalu tajam hingga melupakan sisi kemanusiaannya. Di antara dua tepi itu, kami berusaha mengambil jalan tengah: adil pada fakta, jujur pada keterbatasan data, dan tetap memberi ruang bagi pembaca untuk menilai sendiri. Bila di beberapa bagian pembaca merasa teks ini terlalu kritis, kami berharap itu dibaca sebagai ajakan untuk berpikir. Bila di bagian lain terasa hangat dan personal, biarlah itu menjadi pengingat bahwa di balik gelar dan jabatan, selalu ada seorang anak, seorang suami, seorang ayah, dan seorang sahabat. |

Komentar (0)
Posting Komentar